1. Buat
Film Dokumenter itu Seru!
A documentary is the sum of relationships
during period of shared action and living, a composition made from the sparks
generated during a meeting hearts and minds. (Michael Rabiger, Directing Documentary hal 31)
Seperti halnya pembuatan film fiksi, pada
pembuatan film dokumenter akan melewati tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh
pembuatnya. Tahapan tersebut terdiri atas : pre production, pro-duction, post production. Dalam pre
production pembuatan dokumenter termasuk di dalamnya, pemilihan subyek atau
tema, melakukan riset, menentukan kru, memilih peralatan yang akan digunakan,
menentukan metode yang akan dipakai, serta membuat skedul shooting. Dalam
tahap production, ini
gak kalah seru juga dalam tahap akhir alias pre-production. Tapi
sebelum itu kita bahas semua, yuk kita telusuri sedikit asal muasal film
dokumenter.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan
tentang definisi film dokumenter, namun secara sederhana film dokumenter merupa-kan film yang menampilkan fakta yang ada
dalam kehi-dupan atau film yang menampilkan tentang kenyataan. Dari definisi di atas, berarti semua film non fiksi
merupakan dokumen-ter dong ya? Biarlah perdebatan menjadi perdebatan,
seperti halnya perdebatan tentang “seberapa boleh” subyek dalam doku-menter disutradarai/diarahkan/didirect.
Maka, buku Directing Documentary karya Michael Rabiger menjadi
menarik perhatian sa-ya, dan ini menjadi salah satu buku referensi tulisan
ini. Di dalam beberapa literatur disebutkan bahwa istilah documentary atau do-cumenter
pertama digunakan oleh John Grierson. Saat itu Grierson dgn nama
samaran The Moviegoer menulis resensi sebuah film, Moana karya
documentary maker Robert Flaherty yang dibuat pada tahun 1926.
Tentang Ide. Membuat film
documenter itu memang seru, yang paling mengesankan buat saya waktu buat film
dokumenter per-tama “SMP
Terbuka Pulau Tunda”. Menggunakan kapal motor kecil saat itu ombak laut
sedang tidak bersahabat, cameraman saya sempet muntah-muntah, perjalanan malam
hari menuju salah satu gugusan Kepulauan Seribu memakan waktu lebih lama dari
biasanya. Ide tentang pembuatan film ini berasal dari kawan saya yang sudah
sering mondar-mandir ke Kepulauan Seribu. Seperti halnya film fiksi, ide dalam dokumenter bisa dari siapa saja.
Yang paling penting adalah apakah ide itu cukup menarik untuk dijadikan sebuah
film dokumenter? Menarik bagi anda belum tentu menarik bagi yang lain, begitu
juga sebaliknya.
Persiapan Hampir semua
documentarian/documentary film maker/ dokumentaris (istilah om Gerson) sepakat bahwa riset
merupakan hal yang teramat penting dalam sebuah dokumenter. Riset merupa-kan bagian
dari persiapan dalam pembuatan film documenter. Ten-tang persiapan
yang perlu diperhatikan , Rabiger menyarankan : Define hypothetical
approach to subject, List the action sequences, Check reality, Check written
resources, Do the legwork, Develop trust, Develop a working hypothesis,
Preinterview, Make final draft proposal revision, Write a treatment, Obtain
permission, Secure crew, Make a shooting schedule, Make a budget, Plan shooting
style, Do trial shooting.
2. Think
Small. Think Locally. Ide ada
dimana-mana
Banyak yang bilang film dokumenter itu
membosankan, benarkah demikian? Kalaupun ada dokumenter yang “membosankan” me-mang ada, tapi
yang menarik jauh lebih banyak. Karena membo-sankan gaknya menurut saya tidak selalu dari film itu
sendiri, bisa jadi kita sebagai penontonnya. Yang “dijual” dari
dokumenter ada-lah ide atau
gagasan. Ide seperti apakah itu? Ya ide apa saja, yang menarik buat si pembuat
dan penontonnya. Bagaimana ide doku-menter didapat? Ide bisa didapat dengan berbagai cara,
dan ide bisa didapat dari mana saja.
Ide yang baik biasanya harus ada pesan yang
disampaikan. Masalahnya, bicara film dokumenter berarti berbicara tentang karya
audio visual, berbicara audio visual berarti berbicara tentang media, tentang
medium. Medium is message, demikian kata ahli komunika-si Marshall
McLuhan. Berbicara tentang media berarti berbicara tentang pesan, bahkan
seperti McLuhan tadi, media bisa menjadi pesan itu sendiri. Artinya, selain
idea atau gagasan yang
paling penting lagi adalah pesan apa yang mau disampaikan pada penon-ton. Hanya “sekedar”
menyampaikan fakta-fakta saja, atau ada pe-san sesuatu yang ingin disampaikan. Jadi, jauh sebelum
dokumen-ter itu
dibuat, sutradara harus memikirkan apa dan bagaimana pe-san itu
disampaikan. Yang artinya gaya, bentuk, serta struktur se-perti apa yang
akan dipakai nantinya ketika akan membuat doku-menter. Saat ini kita fokuskan pada ide, pencarian ide,
perumusan ide, dan bagaimana mengimplementasikan ide.
Think Small. Think Local.tidak ada yang aneh dengan sub judul di atas. Kalau
sebagian banyak orang menyarakan untuk berpikir seluas-luasnya tanpa batas,
saya menyarankan anda untuk “berpi-kir” dari hal-hal
kecil dulu. ini untuk memudahkan anda menemu-kan ide dalam film dokumenter. Hal kecil di sini
maksudnya dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita, lingkungan yang dekat
dengan kita, lingkungan dimana kita tinggal. Masalah sosial tak akan ada
habis-habisnya untuk dijadikan tema film dokumenter. Kepekaan kita waktu
mengamati sesuatu, akan memudahkan kita untuk menemukan ide. Ide terkadang
lahir dari ”lamunan”, tapi sa-ya tidak menyarankan anda untuk berlama-lama melamun
untuk mencari ide. Wawasan kita pada berbagai hal sangat membantu bagaimana ide
itu bisa digali. Daya nalar dansense kita bisa dilatih agar
kepekaan kita mampu menghadirkan ide-ide yang bisa jadi se-betulnya ada di
dekat kita, di depan mata kita, di lingkungan sekitar kita. Artinya, ide itu
sebetulnya ada dimana-mana, tinggal bagai-mana kita mampu untuk menangkapnya. Setelah ide didapat,
lang-kah berikutnya
adalah riset, observasi.
Dokumenter tanpa Riset!
Ide dan gagasan sudah didapat, dan ide itu
bisa diimplementasikan menjadi karya audio visual film dokumenter karena sudah
meme-nuhi
variable-variabel yang sudah kita (klien/investor) tentukan. Riset! Sederhananya riset itu
merupakan upaya pengumpulan dan pengolahan data. Semua data yang diperlukan
untuk mendukung ide/gagasan awal tadi.
Riset itu sebenarnya timeless,
tidak ada batasan waktu, yang mem-batasi hanyalah deadline. Deadline yang sudah disepakati
da-lam time
schedule yang sudah dibuat produser yang sebelumnya sudah
diinformasikan pada klien atau investor. Beberapa doku-mentaris
bahkan menyebutkan bagus tidaknya film dokumenter dili-hat dari
seberapa lama riset itu dilakukan. Semua dokumentaris se-pakat bahwa
film dokumenter yang baik harus didukung oleh riset di lapangan yang baik dan
mendalam. Di salah satu kesempatan diskusi, Garin Nugroho menjelaskan, “Film
dokumenter itu tidak bi-sa dibuat tanpa riset dan data yang asal-asalan”.
Metode Riset. Banyak sekali metode riset yang bisa membantu para
pembuat dokumenter, yang paling umum dan banyak disaran-kan adalah
metode riset observasi partisipasi. Dengan metode ini, periset terlibat
langsung dengan subyek yang diriset. Dengan demi-kian periset akan mengenal secara jelas tentang segala
hal yang ada di subyek. Harus diingat, ketika periset akan melakukan obser-vasi, dia
harus memiliki data-data awal terlebih dahulu, data itu bi-sa saja
didapat dari berbagai literatur atau hasil penelitian sebelum-nya, jika subyek
pernah dilakukan penelitian. Dengan data awal, periset bisa membuat list pertanyaan
yang akan bermanfaat un-tuk guiding pada observasi di lapangan.
Yang dimaksud guiding di sini yakni sebuah panduan yang tidak kaku, karena
sangat dimung-kinkan periset
bisa menambah beberapa pertanyaan untuk meng-gali informasi dari subyek. Riset dalam documenter
sebenarnya se-dikit mirip
dengan riset lainnya yakni, geografis, demografis, sosio-grafis,
psikografis. Jadi, periset paling tidak harus memahami ke empat unsur ini. Ada
buku tentang riset yang bagus banget karya Dr. John Smith,
text book ini banyak dijadikan refrensi para dokumentaris,
sayangnya saya sendiri blom memiliki buku ini.
Siapakah yang akan menjadi periset?Sutradara dokumenter a-kan sangat terbantu oleh hasil riset yang baik dengan
data yang va-lid yang
dibutuhkan dalam film dokumenter tersebut. Periset bisa terdiri dari beberapa
orang yang tergabung dalam tim periset/ researcher team. Di antara anggota tim, baiknya salah
satu periset merupakan orang yang paling tau tentang daerah subyek riset yak-ni orang lokal
itu sendiri. Misalnya ketika kita akan membuat film dokumenter tentang Papua ya
bagusnya orang Papua sendiri, yang tau seluk beluk lokasi di sana.
Memilih Kru atau Membuat Kru? Kru adalah orang yang terlibat dalam proses sebuah
produksi, ada yang hanya terlibat di pra produksi saja, di produksi saja, di
paska produksi saja, ada di keduanya, ada juga yang terlibat di semua tahapan
produksi.
Kru Film Dokumenter
Film dokumenter tidak hanya semata
merepresentasikan realitas, tetapi mengubah sesuatu. Paling tidak, dirinya
sebagai film-maker berubah
setelah membuat sebuah film. Bagaimana-pun filmmaker adalah bagian dari apa
yang ia filmkan, demikian ka-ta Nicholas Philibert seorang sutradara dokumenter asal
Perancis. Maka gak heran kalau ada yang bilang, di film fiksi The Director
is God sedangkan dalam dokumenter The God is director.
Secara khusus tidak ada perbedaan
antara kru film dokumenter dengan kru film fiksi, yang membedakan jika dilihat
dari jumlah kru saja. Pada kru film dokumenter biasanya memiliki jumlah kru
yang sedikit. Kru film dokumenter terdiri atas sutradara, cameraman,
gaffer, soundman, serta production manager.
1.
Sutradara, orang yang
bertanggung jawab pada semua aspek produksi film, baik sinematik artistic
maupun secara teknis.
2.
Cameraman atau
sinematografer adalah orang yang melaksana-kan aspek teknis dalam pengambilan gambar, dia juga
membantu sutradara dalam memilih sudut, penyusunan dan rasa dari pen-cahayaan dan
kamera.
3.
Gaffer, orang yang
bertanggung jawab pada pencahayaan atau lighting. Pada beberapa produksi
dokumenter, utamanya jika menggunakan video, tanggung jawab gaffer dirangkap
oleh se-orang
cameraman karena hampir dipastikan seorang cameraman memahami aspek
pencahayaan.
4.
Soundman, bertanggung
jawab pada audio atau suara yang dihasilkan pada saat pengambilan gambar atau
shooting.
5.
Production Manager, orang yang bertanggung jawab atas detail produksi dari
awal hingga akhir produksi.
Memilih atau Membuat Kru? Banyak yang
menyarankan ketika kita akan membuat film dokumenter baiknya kita memilih kru
ya-ng kredibel.
Kru yang tidak hanya berpengalaman dalam membuat film, bahkan lebih spesifik
lagi kru yang berpengalaman dalam membuat film dokumenter. itu untuk
pembuatan dokumenter pro-fesional. Kalau untuk yang baru pertama bikin dokumenter
gimana? Solusi memilih sepertinya kurang tepat, gimana
mau memilih ka-lau kita belum
pernah bikin dokumenter sebelumnya. Yang tepat adalah membuat atau membangun/develop kru.
Ini tidak berbica-ra tentang amatir atau profesional, apapun karya kita
harus dibuat seprofesional mungkin. Membuat tim atau kru pasti tidak semudah
memilih. Hal-hal di bawah mungkin jadi panduan anda ketika mau menentukan tim:
·
Tim Riset, ini terdiri dari orang-orang yang senang
dengan data-data, bisa mengolah data, senang melakukan observasi. Selain
terdiri dari orang yang independen di luar kru produksi, baiknya bahkan
seharusnya sutrdara terlibat di sini.
·
Sutaradara, ini jabatan yang teramat penting. Tentukan
siapa yg paling kredibel menjadi sutradara. Sutradara adalah orang yg ber-tanggung jawab
atas semua hasil karya baik secara artistik mau-pun teknik sinematik. Dia juga harus mampu menja-di leader untuk kru yg lainnya.
Sutradara harus mampu mentra-nsformasikan gagasannya, agar tujuan atau pesan yang
ingin disampaikan bisa dipahami oleh penontonnya.
·
Cameraman,soundman,gaffer: ketiga kru ini harus memiliki
ke-mampuan tehnik
di bidang masing-masing. Jadi ketika anda me-mutuskan untuk membangun tim baru, yakinkan bahwa kru yg
dibuat ini memang memiliki kemampuan atau juga keinginan se-suai
bidang-bidang ini.
Ketika kita membangun tim yg baru, bagaimana
agar nantinya tim ini mampu bekerjasama dengan baik. Kelemahan tim yang baru di-buat biasanya
ketika ada kesalahan cenderung saling menyalahkan satu sama lain, dan hal ini
berbahaya. Peran produser, dalam doku-menter biasa dirangkap juga oleh sutradara, sangat
dituntut agar semuanya bisa berjalan baik. Ini menyangkut manajemen SDM, dan
SDM ini pasti memiliki karakter yang berbeda-beda. Sutradara dan juga kru yang
lain harus memahami karakter masing-masing.
Komitmen Ini sangat
penting. Komitmen ada baiknya dibuat jauh sebelum produksi dimulai, bah-kan sebelum
tahap pre-production. Komitmen bisa dibuat bersama, pertama tentu
saja komitmen pada job desc masing-masing, ke dua atas
prakarsa bersama.
Dokumentator Tanpa Naskah!
Untuk membuat naskah dokumenter, memiliki
tahapan-tahapan yakni : penyusunan data/riset/observasi pada
subyek, penulisan sinopsis, penulisan treatment, dan
penulisan naskah itu sendiri. Penyusunan data bisa dilakukan
dengan menghimpun data tulis (buku,maja-lah,jurnal,internet) ,foto-foto,dan footage audio video.
Sinopsis merupakan ringkasan cerita, menjelaskan tentang tema serta subyek apa
yg akan dalam sebuah dokumenter. Treatment merupakan pengembagan dr sinopsis, dgn membaca treatment
saja kita bisa tau gagasan serta dengan cara apa dokumenter tersebut ingin
dibuat.
Essay dan Narrative Pendekatan dlm
pembuatan dokumenter se-cara garis besar ada 2 macam, yakni essay dan narrative. Lalu ke-napa ada esai
dan naratif? Hal ini menyangkut pada masalah bagai-mana
dokumentator menyampaikan pesan. Dengan pendekatan esai dokumentator
mempresentasikan realita menggunakan penu-tur narasi, penutur narasi ini disebut narator.
Penjelasan mengenai suatu hal dijelaskan dengan naskah yang dibacakan
secara voice over oleh narrator. Dlm dokumenter televisi
terkadang dokumenter disajikan oleh presentator. Dalam “Jejak Petualang”
Trans 7 acara dipandu oleh host, selain menjadi host ada kalanya juga sebagai
narrator. Dokumenter televisi “Potret” di SCTV tidak menggunakan host tapi
menggunakan narrator untuk menyampaikan pesannya.
Ini akan berbeda jika dokumentator menggunakan pendekatan
naratif dalam pembuatan dokumenternya. Dengan naratif, tidak menggunakan
narrator serta presentator, dalam pendekatan naratif memanfaatkan penuturan
dari nara sumber yang ada pada do-kumenter yang kita buat. Sumber yang dimaksud adalah
subyek utama serta subyek pendukung lainnya. Dokumenter dengan gaya pendekatan
naratif ini yang beberapa dokumentator kita menye-butnya sebagai dokumenter murni. Agak kurang
tepat sebetulnya. Menurut Klaus Wildenhan, seorang dokumentator
ternama asal Jerman bahwa yang dimaksud dengan “pure documentary” meru-pakan
metode film maker yang merekam dengan sabar menunggu hingga ada ‘sesuatu’
yang terjadi pada subyek di depan kamera. Ja-di dokumenter murni adalah metode atau cara, tidak ada
urusan dengan narasi atau tanpa narasi. Dan entah kenapa dokumenter tanpa
narasi ini yang biasanya memenang dalam festival.
Naskah atau Tanpa Naskah Ada dua
tingkat dalam penulisan naskah dokumenter, yakni pre-shot atau shooting
script dan pro-shot script. Shooting
scrip merupakan naskah panduan untuk doku-mentator ketika akan melakukan pengambilan gambar.
Sedangkan pro-shot script, naskah sebagai panduan editor ketika akan melaku-kan
penyuntingan gambar, isitlah lain untuk pro-shot script adalah paper
edit.
Menulis naskah untuk feature film/fiksi atau
non fiksi akan berbeda dgn menulis untuk media cetak. Kenapa demikian? Film
adalah karya visual, tulisan seorang penulis naskah film tidak dibaca dalam
film tersebut, yang terlihat merupakan gambar dalam sebuah layar. Ini berarti,
seorang penulis naskah harus bisa menulis secara visual. Film merupakan gambar
bergerak, artinya penulis naskah harus mampu menterjemahkan visual ke dalam
bentuk tulisan.
Dlm naskah dokumenter ada 3 elemen
penting yakni : elemen visu-al, elemen audio, serta elemen cerita. Naskah
dokumenter tidak ha-nya merupakan kumpulan kata atau kalimat saja, akan
tetapi meru-pakan
kompilasi konsep elemen-elemen telling story. Perpaduan elemen
penting inilah yang akan menjadikan sebuah film dokumen-ter yang baik.
Jadi, ini agak mirip dengan film fiksi, yakni bagai-mana film
tersebut harus bisa mengemukakan gagasan, selain menceritakan fakta sebagai
ciri khas dari dokumenter. Artinya do-kumenter juga harus memiliki struktur. Struktur bisa
dibuat secara kronologis, tematis, maupun dialektikal. Akhir film
dokumenter bisa dibuat open end, yakni menggambarkan persoalan yg
masih bisa dibuka, mempersilahkan penonton untuk “melanjutkan” realita yang ada
di dokumenter tersebut. Dan bisa juga dibuat closed end,
dokumentator memberikan penyelesaian pada filmnya.
Selain struktur yg jelas, penulis naskah
dokumenter sudah hrs me-mikirkan ploting. Plot yg terdiri atas archplot, miniplot,
dan antiplot. Archplot ini biasanya penulis naskah menyebut dengan
desain plot klasik. Cerita dgn desain archplot dibuat secara linear, secara
urut dan biasanya dibuat closed end. Sedangkan miniplot merupakan bentuk
minimalis dari arcplot. Yang paling ekstrim membuat ploting dengan antiplot,
tidak linear seperti halnya archplot.
Prepare Shooting Dokumenter
“A documentary you can’t
miss.More, a touching portrait of the building of a country.” Benoîte
Labrosse – Alternatives
Ketika shooting script sudah
selesai dibuat, berarti pelaksanaan shooting sudah bisa dilakukan. Shooting
script merupakan panduan dokumentator di lapangan, shooting script ibarat
sebuah peta yg akn menghantarkan anda agar “tidak tersesat di jalan”.
Tapi peta tetaplah peta, di lapangan segala sesuatu bisa saja terjadi. Lalu hal
apa saja yang perlu dipersiapkan ?
Peralatan Shooting Seperti halnya
tentara yg akan bertempur di medan perang, persenjataan yang lengkap beserta
amunisi serta strategi yg matang sudah harus dipersiapkan. Pun demikian ketika
kita akan berangkat menuju lokasi shooting. Yakinkan bahwa se-mua peralatan
shooting tidak ada yang ketinggalan. Buatlah daftar peralatan yang harus
dibawa. Kamera sebagai bagian vital peralatan shooting
sebaiknya dicek terlebih dahulu. Jika anda harus menyewanya, jangan terlalu
percaya pada penyewa kalau peralatan dlm kondisi baik jika anda belum
mengeceknya. Lakukan pereka-man untuk mengetes apakah hasil rekaman itu baik atau ti-dak. Battere,
hingga saat ini belum ada kamera video yg bisa dio-perasikan
tanpa ada arus listrik baik AC atau DC. Bawalah paling ti-dak dua battere untuk keperluan shooting, beberapa
battere memi-liki indikator
berapa lama bisa digunakan, tapi kalau tidak ada kon-disi battere
bisa dicek di display kamera. Dengan demikian anda bi-sa memprediksi
kebutuhan battere di lapangan nantinya. Saran sa-ya, bawa juga charger battere karena swaktu-waktu anda
bisa me-ngisi battere
yang sudah kosong. Tripod,penyangga kamera agar gambar yang
dihasilkan lebih steady, tidak goyang. Pastikan semua panel yang ada di tripod
bisa berfungsi dengan benar, misalnya apakah paning head tidak
bermasalah? kalau konsep pembuatan dokumenter anda dengan gaya handheld berarti
anda tidak mebu-tuhkan tripod atau penyangga kamera ini. Audio
Set, seperangkat alat perekaman suara terdiri atas microphone,
transmitter serta re-ceivernya (kalau menggunakan tipe wireless) juga harus
dicek. Be-gitu juga kalau menggunakan kabel mic.Reflektor, ada
banyak je-nis reflektor tapi tidak mungkin anda bawa semua jenis reflektor ke
lapangan bukan? kalau saya sendiri lebih suka yang simple, yang bisa dilipat
dan berwarna silver/perak. Ini sepertinya jadi favorit pa-ra
dokumentator lain juga. Reflektor warna perak ini bisa meman-tulkan cahaya
dengan baik. Kalau yang mau lengkap coba gunakan yg 5 in one, seperti namanya
ini reflector satu set ada 5 jenis dalam 1 paket(white difusser, soft,black,silver,dan gold). Tape/Cassette,
kalau di senjata perang ini tape atau kaset itu ibarat peluru /amunisi. Kalau
untuk bikin feature film kebutuhan kaset bisa dipre-diksi dengan
mudah, lain halnya untuk dokumenter jangan pelit un-tuk membawa
kaset lebih. Beberapa kamera tidak menggunakan ka-set alias tape,nah kalau seperti ini berarti
anda harus mempersiapkan hardisk cadangan untuk media penyimpanannya.
Logistik itu penting banget. Tidak semua makanan gampang didapat
di daerah, kalaupun ada apakah makan tersebut cocok untuk kru? kalau begitu
berarti sebelum
berangkat shooting baik-nya kita mempersiapkan makanan juga. Produser atau
manajer produksi sudah harus memastikan berapa bujet yg dibutuhkan di la-pangan, baik
bujet keseluruhan maupun bujet setiap harinya. Ada kalanya harus membawa uang
cash yang banyak, jadi kita harus membawa cukup uang. Riyyani Djangkaru,
mantan pembawa a-cara dokumenter televisi “Jejak Petualang”di Trans
7 cerita ke saya, suatu saat dia dan kru menshoot babi dan ubi yang dijual di
pasar. Dan sebelum di shoot mereka meminta bayaran. Gak nyangka kan kalau
shooting ubi dan babi ada bayarannya? artinya memang ha-rus menyediakan
uang lebih alias kontijensi/contigency.
Kru Lokal Sebelum
pengambilan gambar/ shooting, kita pasti su-dah sering ke lokasi shooting tersebut. Di Gothe Hauss,
sekitar se-tahun yang
lalu saya sempat menanyakan pada Dominic Morissete dokumentator
asal Perancis, berapa lama dia riset ke la-pangan waktu buat film “Afghan Chronicles”. Dia
menjelaskan tidak kurang dari dua tahun dia bolak-balik ke Afghanistan. Dia
juga me-manfaatkan kru
lokal sana untuk membantu pembuatan dokumen-ter tersebut. Waktu saya buat dokumenter “SMP Terbuka
Pulau Tunda” saya juga dibantu oleh orang lokal sana. Kenapa kru lokal ini
penting? karena yang paling tahu tentang semua kondisi ya pasti orang lokal
sana. Kru yang dimaksud tidak hanya seba-gai porter saja, tapi bisa juga kita
jadikan sebagai pemandu kita. Dan bagusnya lagi, dengan melibatkan orang lokal
akan memper-kecil atau
mengurangi segala kecurigaan masyarakat di sana.
Narasumber dalam DokumenterNarasumber dalam dokumenter adalah hal yang sangat
penting, narasumber sebagai subyek bukan sebagai obyek. Itulah uniknya
dokumenter, memperlakukan manu-sia sebagai subyek. Narasumber memiliki karakter yang
berbeda, artinya lebih baik menggunakan pendekatan subyektif ketimbang
generalisasi.
Mengenali NarasumberTak kenal maka tak sayang, sebuah adagium klasik sederhana tapi masih relevan
sampai saat ini. Narasumber dalam dokumenter adalah hal terpenting setelah
ide/gagasan serta bagaimana story telling sang dokumentator. Banyak cara
bagaimana menginisiasi calon narasumber kita, dan riset merupakan langkah awal.
Kenali calon narasumber dengan berbagai referensi. Jika narasumber merupakan
orang terkenal pasti tidak aka nada kesulitan untuk bahan referensi, tapi
bagaimana kalau narasumber kita adalah orang biasa-biasa saja?
Prepare Interview vs Casual Interview Wawancara yang baik seharusnya dilakukan persiapan yang
matang, di antaranya dengan menginisiasi calon narasumber kita. Dan yang paling
penting lagi adalah goal apa yang ingin dicapai oleh dokumentator atas
narasumber tersebut. Ketika goalnya sudah jelas, maka buatlah list pertanyaan,
buatlah pertanyaan yang mudah di urutan pertama. Hal ini dilakukan agar
narasumber “tidak kaget”, dan dengan demikian dokumentator bisa menginisiasi
narasumber ketika di lapangan. Bebrapa praktisi menyarankan untuk membuat
semacam pre arrange question, yakni pertanyaan pembuka yang bisa
jadi nantinya tidak dipakai ketika proses editing berjalan.
Berbeda dengan tehnik prepare
interview, tehnik lainnya yakni casual interview memiliki
pendekatan agak sedikit berbeda. Ketika narsumber ditemui secara on the
spot alias langsung di lapangan, maka dokumentator harus memiliki
kejelian. Pada waktu pembuatan dokumenter bulan lalu di Aceh, penulis beberapa
kali menemui narasumber on the spot. Aceh sebelum paska tsunami dan
perjanjian damai Henlinski memang sudah berbeda, namun bukan berarti trauma
pada masa Gerakan Aceh Merdeka/GAM serta pemberlakuan Daerah Operasi
Militer/DOM sirna begitu saja, traumatik itu masih ada. Ini tentu menyulitkan
saya dan tim ketika mewawancarai narasumber, apalagi yang ditanyakan seputar
politik. Tanpa kehadiran kamera masih banyak informasi yang bisa penulis
eksplorasi, tapi ketika kamera dihadapkan pada mereka, freezeee….. Lalu apa
yang bisa dilakukan oleh penulis dan tim? Pendekatan personal. Teori-teori
dalam buku jurnalistik investigasi yang sangat Amerika itu tidak berlaku, ini
Aceh kawan! Banyak kejadian unik di lapangan, jangankan rakyat biasa, untuk
mewancarai mahasiswa yang notabene sangat kritis saja diperlukan pendekatan
khusus.
Don’t stretch to the point, ini salah satu kuncinya. Saya ngobrol dengan mereka
dari hal-hal yang ringan sampai pada hal yang menarik buatmereka.
Dan mereka itu saya jadikan kita, berarti kami dan
mereka. Setelah semuanya sudah terasa nyaman barulah kamera saya onkan,bla…bla…bla….ngalor-ngidul
sudah menghabiskan hampir setengah kaset,narasumber bercerita panjang lebar
tentang hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan materi dokumenter,
barulah pada poin yang ingin digali oleh penulis.
Gotcha! Penulis dapat semua informasi yang diperlukan. Juga
demikian, ketika penulis berhasil ngobrol dengan seorang petani di salah satu
daerah di Aceh Besar. Bicara tentang bagaimana dia bertani, darimana benih dia
dapat, hingga pada poin utama bagaimana keadaan eks kombatan GAM saat ini dan
bagaimana politik mutakhir di Aceh saat ini.
Dalam teori memang banyak dibahas bagaimana
menggali narasumber agar bisa menyampaikan informasi selengkap mungkin, tapi
tidak dibicarakan bagaimana membuat narasumber nyaman. Nyaman dalam arti
personal, dan ini bukan generik. Secara umum ada dua kriteria interview yang
baik: yakni riset yang baik serta kemampuan mendengarkan yang baik. Butuh
kesabaran yang ekstra ketika kita menjadi pendengar, dengan demikian kita akan
peka terhadap apa yang disampaikan oleh narasumber. Tidak sedikit informasi
baru akan kita gali ketika kita mendapat tuturan sang narasumber, pertanyaan ke
dua, ke tiga, atau bahkan ke empat atas jawaban pertama tadi. Secara psikologis
jelas bahwa lawn bicara kita akan merasa nyaman, merasa punya teman, ketika
mereka kita dengarkan dengan baik.
1. Editing Dokumenter
Ketika proses shooting selesai, maka tahap
selanjutnya yakni editing sebagai bagian dari proses paska produksi, merupakan
tahapan yg sa-ngat menarik dalam pembuatan dokumenter. Kolaborasi/ kerjasama
antarsutradara dgn editor sudah dimulai. Seperti halnya dalam editing feature
film, editing dokumenter melalui berbagai tahapan. Apa dan bagaimana
tahapan editing dokumenter.
Preview Hasil Shooting Ratusan atau
bisa jadi ribuan shot yang sudah dihasilkan oleh sutradara dan
cameraman, namun shot-shot tersebut tidak akan memiliki makna apa-apa ketika
belum disusun oleh editor menjadi satu kesatuan cerita. Karena itu peran
seorang editor sangatlah penting. Sebelum melakukan penyuntingan gam-bar, preview
hasil shooting. Semua materi shot harus dilihat oleh editor. Dan kalau
memungkin-kan ada
baiknya pada proses melihat hasil shooting ini, sutrdara menemani editor.
Dengan demikian su-tradara bisa berdiskusi de-ngan editor mengenai shot-shot yang sudah dihasilkannya
itu.
LoggingTerkadang buat sebagian editor ini merupakan proses yang
membosankan. Logging secara sederhana berarti pencatatan time code seluruh shot
hasil shooting. Time code merupakan kode waktu yang terdapat pada materi shot.
Pencatatan time code awal serta akhir shot. Jadi logging merupakan manajemen
file, yang ber-fungsi untuk
memudahkan ketika melakukan penyuntingan gambar nantinya. Catatan logging
tersebut dibuat ke dalam logging list atau logging sheet. Logging
sheet merupakan panduan untuk capture atau pemindahan materi tape ke dalam
komputer editing.
Paper EditAda dua naskah dalam dokumenter, yang pertama ada-lah pre-shot
script yakni script yang dibuat oleh penulis naskah se-bagai panduan
dokumentator di lapangan. Dan yang ke dua, dina-makan pro-shot script, yakni naskah yang dibuat setelah
shooting selesai. Pro-shot script dinamakan juga paper edit. Kenapa paper edit
ini diperlukan oleh editor dokumenter? Ini salah satu yang membedakan antara
feature film dengan dokumenter. Ketika editor merasa bahwa pekerjaan editing
dokumenter terasa berat, maka transcript wawancara dituangkan ke dalam paper
edit. Makanya tidak heran, akan ditemukan banyak kertas coretan di meja editing
dokumenter. Kertas ini sangat membantu editor untuk membuat struktur cerita
yang akan direkontruksi. Tidak ada aturan baku da-lam format paper edit, yang paling penting.
Editing Assembly Tahap ini
merupakan tahapan setelah logging dan capturing. Editing Assembly dilakukan
untuk melihat gambaran secara umum dokumenter tersebut. Untuk dokumenter berdurasi
1 jam, biasanya
assembly edit sekitar 140 menit, atau empat puluh persen lebih banyak. Ini
bukan rumusan umum, tapi menurut pengalaman pribadi serta sharing dengan editor
dokumenter lainnya estimasi durasi di atas umum dilakukan. Dalam editing
assembly, belum ada musik serta voice over serta efek. Yang jelas, dalam
assembly edit sudah terlihat cerita di dalamnya. Pada hasil assembly edit
memang belum bisa untuk presentasi, tapi sutrdara sudah bisa melihat gambaran
umumnya. Editor sudah bisa membayangkan tema apa yang bisa dibuang atau tidak
terpakai,
Rough Cut Namanya
simpel, rough cut alias motong kasar tapi ini merupakan tahapan
sebenarnya dalam editing. Editor sudah mem-buat kontruksi
cerita sesuai dengan post-script yang sudah dibuat sebelumnya. Penambahan draft
narasi atau voice over (kalau pen-dekatannya essay) sudah bisa dilakukan. Durasi hasil
editing rough cut biasanya tidak lebih dari sepuluh persen dari durasi film
doku-menter yang
sudah jadi nantinya. Hasil rough cut sudah bisa dipre-sentasikan
pada klien atau investor. Untuk menjajaki apakah film dokumenter tersebut sudah
bagus secara editingnya, ada baiknya film tersebut dipertontonkan pada penonton
awam, atau bisa saja minta komentar dari kawan anda.
Fine Cut Ini merupakan
proses editing akhir sebelum film dokumenter tersebut benar-benar akan
direlease. Pada tahapan ini editor sudah membuat struktur final dengan durasi
hampir persis pada durasi sebenarnya, menambahkan musik ilustrasi, serta efek.
Pada tahap ini, hasil editing fine cut sudah bisa dipresentasikan kembali.
Untuk beberapa dokumenter terkadang harus mempresentasikan di hadapan advisor.
Ini biasanya menyangkut konten atau isi, misalnya seperti dokumenter
intruksional.
Picture Locked! Tidak ada yang
paling membahagiakan seorang editor ketika, semua pekerjaan sudah selesai, dan
ini yang namanya picture
lock. Tidak ada perubahan sama sekali dalam editing, karena begitu
gambar/video sudah dilock berarti selanjutnya adalah finalisasi graphik serta
musik. Dan tentu selanjutnya adalah mastering dan membuat copy release.