RSS

Jumat, 15 Maret 2013

Membuat Film Dokumenter


1. Buat Film Dokumenter itu Seru!
A documentary is the sum of relationships during period of shared action and living, a composition made from the sparks generated during a meeting hearts and minds. (Michael Rabiger, Directing Documentary hal 31)

Seperti halnya pembuatan film fiksi, pada pembuatan film dokumenter akan melewati tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pembuatnya. Tahapan tersebut terdiri atas : pre production, pro-duction, post production. Dalam pre production pembuatan dokumenter termasuk di dalamnya, pemilihan subyek atau tema, melakukan riset, menentukan kru, memilih peralatan yang akan digunakan, menentukan metode yang akan dipakai, serta membuat skedul shooting. Dalam tahap production, ini gak kalah seru juga dalam tahap akhir alias pre-production. Tapi sebelum itu kita bahas semua, yuk kita telusuri sedikit asal muasal film dokumenter.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang definisi film dokumenter, namun secara sederhana film dokumenter merupa-kan film yang menampilkan fakta yang ada dalam kehi-dupan atau film yang menampilkan tentang kenyataan. Dari definisi di atas, berarti semua film non fiksi merupakan dokumen-ter dong ya? Biarlah perdebatan menjadi perdebatan, seperti halnya perdebatan tentang “seberapa boleh” subyek dalam doku-menter disutradarai/diarahkan/didirect. Maka, buku Directing Documentary karya Michael Rabiger menjadi menarik perhatian sa-ya, dan ini menjadi salah satu buku referensi tulisan ini. Di dalam beberapa literatur disebutkan bahwa istilah documentary atau do-cumenter pertama digunakan oleh John Grierson. Saat itu Grierson dgn nama samaran The Moviegoer menulis resensi sebuah film, Moana karya documentary maker Robert Flaherty yang dibuat pada tahun 1926.
Tentang Ide. Membuat film documenter itu memang seru, yang paling mengesankan buat saya waktu buat film dokumenter per-tama “SMP Terbuka Pulau Tunda”. Menggunakan kapal motor kecil saat itu ombak laut sedang tidak bersahabat, cameraman saya sempet muntah-muntah, perjalanan malam hari menuju salah satu gugusan Kepulauan Seribu memakan waktu lebih lama dari biasanya. Ide tentang pembuatan film ini berasal dari kawan saya yang sudah sering mondar-mandir ke Kepulauan Seribu. Seperti halnya film fiksi, ide dalam dokumenter bisa dari siapa saja. Yang paling penting adalah apakah ide itu cukup menarik untuk dijadikan sebuah film dokumenter? Menarik bagi anda belum tentu menarik bagi yang lain, begitu juga sebaliknya.
Persiapan Hampir semua documentarian/documentary film maker/ dokumentaris (istilah om Gerson) sepakat bahwa riset merupakan hal yang teramat penting dalam sebuah dokumenter. Riset merupa-kan bagian dari persiapan dalam pembuatan film documenter. Ten-tang persiapan yang perlu diperhatikan , Rabiger menyarankan : Define hypothetical approach to subject, List the action sequences, Check reality, Check written resources, Do the legwork, Develop trust, Develop a working hypothesis, Preinterview, Make final draft proposal revision, Write a treatment, Obtain permission, Secure crew, Make a shooting schedule, Make a budget, Plan shooting style, Do trial shooting.

2. Think Small. Think Locally.  Ide ada dimana-mana

Banyak yang bilang film dokumenter itu membosankan, benarkah demikian? Kalaupun ada dokumenter yang “membosankan” me-mang ada, tapi yang menarik jauh lebih banyak. Karena membo-sankan gaknya menurut saya tidak selalu dari film itu sendiri, bisa jadi kita sebagai penontonnya. Yang “dijual” dari dokumenter ada-lah ide atau gagasan. Ide seperti apakah itu? Ya ide apa saja, yang menarik buat si pembuat dan penontonnya. Bagaimana ide doku-menter didapat? Ide bisa didapat dengan berbagai cara, dan ide bisa didapat dari mana saja.
Ide yang baik biasanya harus ada pesan yang disampaikan. Masalahnya, bicara film dokumenter berarti berbicara tentang karya audio visual, berbicara audio visual berarti berbicara tentang media, tentang medium. Medium is message, demikian kata ahli komunika-si Marshall McLuhan. Berbicara tentang media berarti berbicara tentang pesan, bahkan seperti McLuhan tadi, media bisa menjadi pesan itu sendiri. Artinya, selain idea atau gagasan yang paling penting lagi adalah pesan apa yang mau disampaikan pada penon-ton. Hanya “sekedar” menyampaikan fakta-fakta saja, atau ada pe-san sesuatu yang ingin disampaikan. Jadi, jauh sebelum dokumen-ter itu dibuat, sutradara harus memikirkan apa dan bagaimana pe-san itu disampaikan. Yang artinya gaya, bentuk, serta struktur se-perti apa yang akan dipakai nantinya ketika akan membuat doku-menter. Saat ini kita fokuskan pada ide, pencarian ide, perumusan ide, dan bagaimana mengimplementasikan ide.
Think Small. Think Local.tidak ada yang aneh dengan sub judul di atas. Kalau sebagian banyak orang menyarakan untuk berpikir seluas-luasnya tanpa batas, saya menyarankan anda untuk “berpi-kir” dari hal-hal kecil dulu. ini untuk memudahkan anda menemu-kan ide dalam film dokumenter. Hal kecil di sini maksudnya dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita, lingkungan yang dekat dengan kita, lingkungan dimana kita tinggal. Masalah sosial tak akan ada habis-habisnya untuk dijadikan tema film dokumenter. Kepekaan kita waktu mengamati sesuatu, akan memudahkan kita untuk menemukan ide. Ide terkadang lahir dari ”lamunan”, tapi sa-ya tidak menyarankan anda untuk berlama-lama melamun untuk mencari ide. Wawasan kita pada berbagai hal sangat membantu bagaimana ide itu bisa digali. Daya nalar dansense kita bisa dilatih agar kepekaan kita mampu menghadirkan ide-ide yang bisa jadi se-betulnya ada di dekat kita, di depan mata kita, di lingkungan sekitar kita. Artinya, ide itu sebetulnya ada dimana-mana, tinggal bagai-mana kita mampu untuk menangkapnya. Setelah ide didapat, lang-kah berikutnya adalah riset, observasi.  

Dokumenter tanpa Riset!

Ide dan gagasan sudah didapat, dan ide itu bisa diimplementasikan menjadi karya audio visual film dokumenter karena sudah meme-nuhi variable-variabel yang sudah kita (klien/investor) tentukan. Riset! Sederhananya riset itu merupakan upaya pengumpulan dan pengolahan data. Semua data yang diperlukan untuk mendukung ide/gagasan awal tadi.
Riset itu sebenarnya timeless, tidak ada batasan waktu, yang mem-batasi hanyalah deadline. Deadline yang sudah disepakati da-lam time schedule yang sudah dibuat produser yang sebelumnya sudah diinformasikan pada klien atau investor. Beberapa doku-mentaris bahkan menyebutkan bagus tidaknya film dokumenter dili-hat dari seberapa lama riset itu dilakukan. Semua dokumentaris se-pakat bahwa film dokumenter yang baik harus didukung oleh riset di lapangan yang baik dan mendalam. Di salah satu kesempatan diskusi, Garin Nugroho menjelaskan, “Film dokumenter itu tidak bi-sa dibuat tanpa riset dan data yang asal-asalan”.
Metode Riset. Banyak sekali metode riset yang bisa membantu para pembuat dokumenter, yang paling umum dan banyak disaran-kan adalah metode riset observasi partisipasi. Dengan metode ini, periset terlibat langsung dengan subyek yang diriset. Dengan demi-kian periset akan mengenal secara jelas tentang segala hal yang ada di subyek. Harus diingat, ketika periset akan melakukan obser-vasi, dia harus memiliki data-data awal terlebih dahulu, data itu bi-sa saja didapat dari berbagai literatur atau hasil penelitian sebelum-nya, jika subyek pernah dilakukan penelitian. Dengan data awal, periset bisa membuat list pertanyaan yang akan bermanfaat un-tuk guiding pada observasi di lapangan. Yang dimaksud guiding di sini yakni sebuah panduan yang tidak kaku, karena sangat dimung-kinkan periset bisa menambah beberapa pertanyaan untuk meng-gali informasi dari subyek. Riset dalam documenter sebenarnya se-dikit mirip dengan riset lainnya yakni, geografis, demografis, sosio-grafis, psikografis. Jadi, periset paling tidak harus memahami ke empat unsur ini. Ada buku tentang riset yang bagus banget karya Dr. John Smith, text book ini banyak dijadikan refrensi para dokumentaris, sayangnya saya sendiri blom memiliki buku ini.
Siapakah yang akan menjadi periset?Sutradara dokumenter a-kan sangat terbantu oleh hasil riset yang baik dengan data yang va-lid yang dibutuhkan dalam film dokumenter tersebut. Periset bisa terdiri dari beberapa orang yang tergabung dalam tim periset/ researcher team. Di antara anggota tim, baiknya salah satu periset merupakan orang yang paling tau tentang daerah subyek riset yak-ni orang lokal itu sendiri. Misalnya ketika kita akan membuat film dokumenter tentang Papua ya bagusnya orang Papua sendiri, yang tau seluk beluk lokasi di sana.
Memilih Kru atau Membuat Kru? Kru adalah orang yang terlibat dalam proses sebuah produksi, ada yang hanya terlibat di pra produksi saja, di produksi saja, di paska produksi saja, ada di keduanya, ada juga yang terlibat di semua tahapan produksi.

Kru Film Dokumenter

Film dokumenter tidak hanya semata merepresentasikan realitas, tetapi mengubah sesuatu. Paling tidak, dirinya sebagai film-maker berubah setelah membuat sebuah film. Bagaimana-pun filmmaker adalah bagian dari apa yang ia filmkan, demikian ka-ta Nicholas Philibert seorang sutradara dokumenter asal Perancis. Maka gak heran kalau ada yang bilang, di film fiksi The Director is God sedangkan dalam dokumenter The God is director.
 Secara khusus tidak ada perbedaan antara kru film dokumenter dengan kru film fiksi, yang membedakan jika dilihat dari jumlah kru saja. Pada kru film dokumenter biasanya memiliki jumlah kru yang sedikit. Kru film dokumenter terdiri atas sutradaracameraman, gaffer, soundman, serta production manager.
1.                  Sutradara, orang yang bertanggung jawab pada semua aspek produksi film, baik sinematik artistic maupun secara teknis.
2.                  Cameraman atau sinematografer adalah orang yang melaksana-kan aspek teknis dalam pengambilan gambar, dia juga membantu sutradara dalam memilih sudut, penyusunan dan rasa dari pen-cahayaan dan kamera.
3.                  Gaffer, orang yang bertanggung jawab pada pencahayaan atau lighting. Pada beberapa produksi dokumenter, utamanya jika menggunakan video, tanggung jawab gaffer dirangkap oleh se-orang cameraman karena hampir dipastikan seorang cameraman memahami aspek pencahayaan.
4.                  Soundman, bertanggung jawab pada audio atau suara yang dihasilkan pada saat pengambilan gambar atau shooting.
5.                  Production Manager, orang yang bertanggung jawab atas detail produksi dari awal hingga akhir produksi.
Memilih atau Membuat Kru? Banyak yang menyarankan ketika kita akan membuat film dokumenter baiknya kita memilih kru ya-ng kredibel. Kru yang tidak hanya berpengalaman dalam membuat film, bahkan lebih spesifik lagi kru yang berpengalaman dalam membuat film dokumenter. itu untuk pembuatan dokumenter pro-fesional. Kalau untuk yang baru pertama bikin dokumenter gimana? Solusi memilih sepertinya kurang tepat, gimana mau memilih ka-lau kita belum pernah bikin dokumenter sebelumnya. Yang tepat adalah membuat atau membangun/develop kru. Ini tidak berbica-ra tentang amatir atau profesional, apapun karya kita harus dibuat seprofesional mungkin. Membuat tim atau kru pasti tidak semudah memilih. Hal-hal di bawah mungkin jadi panduan anda ketika mau menentukan tim:
·  Tim Riset, ini terdiri dari orang-orang yang senang dengan data-data, bisa mengolah data, senang melakukan observasi. Selain terdiri dari orang yang independen di luar kru produksi, baiknya bahkan seharusnya sutrdara terlibat di sini.
·  Sutaradara, ini jabatan yang teramat penting. Tentukan siapa yg paling kredibel menjadi sutradara. Sutradara adalah orang yg ber-tanggung jawab atas semua hasil karya baik secara artistik mau-pun teknik sinematik. Dia juga harus mampu menja-di leader untuk kru yg lainnya. Sutradara harus mampu mentra-nsformasikan gagasannya, agar tujuan atau pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami oleh penontonnya.
·  Cameraman,soundman,gaffer: ketiga kru ini harus memiliki ke-mampuan tehnik di bidang masing-masing. Jadi ketika anda me-mutuskan untuk membangun tim baru, yakinkan bahwa kru yg dibuat ini memang memiliki kemampuan atau juga keinginan se-suai bidang-bidang ini.
Ketika kita membangun tim yg baru, bagaimana agar nantinya tim ini mampu bekerjasama dengan baik. Kelemahan tim yang baru di-buat biasanya ketika ada kesalahan cenderung saling menyalahkan satu sama lain, dan hal ini berbahaya. Peran produser, dalam doku-menter biasa dirangkap juga oleh sutradara, sangat dituntut agar semuanya bisa berjalan baik. Ini menyangkut manajemen SDM, dan SDM ini pasti memiliki karakter yang berbeda-beda. Sutradara dan juga kru yang lain harus memahami karakter masing-masing.
Komitmen  Ini sangat penting. Komitmen ada baiknya dibuat jauh sebelum produksi dimulai, bah-kan sebelum tahap pre-production. Komitmen bisa dibuat bersama, pertama tentu saja komitmen pada job desc masing-masing, ke dua atas prakarsa bersama.

Dokumentator Tanpa Naskah!
Untuk membuat naskah dokumenter, memiliki tahapan-tahapan yakni : penyusunan data/riset/observasi pada subyek, penulisan sinopsis, penulisan treatment, dan penulisan naskah itu sendiri. Penyusunan data bisa dilakukan dengan menghimpun data tulis (buku,maja-lah,jurnal,internet) ,foto-foto,dan footage audio video. Sinopsis merupakan ringkasan cerita, menjelaskan tentang tema serta subyek apa yg akan dalam sebuah dokumenter. Treatment merupakan pengembagan dr sinopsis, dgn membaca treatment saja kita bisa tau gagasan serta dengan cara apa dokumenter tersebut ingin dibuat.

Essay dan Narrative Pendekatan dlm pembuatan dokumenter se-cara garis besar ada 2 macam, yakni essay dan narrative. Lalu ke-napa ada esai dan naratif? Hal ini menyangkut pada masalah bagai-mana dokumentator menyampaikan pesan. Dengan pendekatan esai dokumentator mempresentasikan realita menggunakan penu-tur narasi, penutur narasi ini disebut narator. Penjelasan mengenai suatu hal dijelaskan dengan naskah yang dibacakan secara voice over oleh narrator. Dlm dokumenter televisi terkadang dokumenter disajikan oleh presentator. Dalam “Jejak Petualang” Trans 7 acara dipandu oleh host, selain menjadi host ada kalanya juga sebagai narrator. Dokumenter televisiPotret” di SCTV tidak menggunakan host tapi menggunakan narrator untuk menyampaikan pesannya.
     Ini akan berbeda jika dokumentator menggunakan pendekatan naratif dalam pembuatan dokumenternya. Dengan naratif, tidak menggunakan narrator serta presentator, dalam pendekatan naratif memanfaatkan penuturan dari nara sumber yang ada pada do-kumenter yang kita buat. Sumber yang dimaksud adalah subyek utama serta subyek pendukung lainnya. Dokumenter dengan gaya pendekatan naratif ini yang beberapa dokumentator kita menye-butnya sebagai dokumenter murni. Agak kurang tepat sebetulnya. Menurut Klaus Wildenhan, seorang dokumentator ternama asal Jerman bahwa yang dimaksud dengan “pure documentary” meru-pakan metode film maker yang merekam dengan sabar menunggu hingga ada ‘sesuatu’ yang terjadi pada subyek di depan kamera. Ja-di dokumenter murni adalah metode atau cara, tidak ada urusan dengan narasi atau tanpa narasi. Dan entah kenapa dokumenter tanpa narasi ini yang biasanya memenang dalam festival.
Naskah atau Tanpa Naskah Ada dua tingkat dalam penulisan naskah dokumenter, yakni pre-shot atau shooting script dan pro-shot script. Shooting scrip merupakan naskah panduan untuk doku-mentator ketika akan melakukan pengambilan gambar. Sedangkan pro-shot script, naskah sebagai panduan editor ketika akan melaku-kan penyuntingan gambar, isitlah lain untuk pro-shot script adalah paper edit.
Menulis naskah untuk feature film/fiksi atau non fiksi akan berbeda dgn menulis untuk media cetak. Kenapa demikian? Film adalah karya visual, tulisan seorang penulis naskah film tidak dibaca dalam film tersebut, yang terlihat merupakan gambar dalam sebuah layar. Ini berarti, seorang penulis naskah harus bisa menulis secara visual. Film merupakan gambar bergerak, artinya penulis naskah harus mampu menterjemahkan visual ke dalam bentuk tulisan.
Dlm naskah dokumenter ada 3 elemen penting yakni : elemen visu-al, elemen audio, serta elemen cerita. Naskah dokumenter tidak ha-nya merupakan kumpulan kata atau kalimat saja, akan tetapi meru-pakan kompilasi konsep elemen-elemen telling story. Perpaduan elemen penting inilah yang akan menjadikan sebuah film dokumen-ter yang baik. Jadi, ini agak mirip dengan film fiksi, yakni bagai-mana film tersebut harus bisa mengemukakan gagasan, selain menceritakan fakta sebagai ciri khas dari dokumenter. Artinya do-kumenter juga harus memiliki struktur. Struktur bisa dibuat secara kronologis, tematis, maupun dialektikal. Akhir film dokumenter bisa dibuat open end, yakni menggambarkan persoalan yg masih bisa dibuka, mempersilahkan penonton untuk “melanjutkan” realita yang ada di dokumenter tersebut. Dan bisa juga dibuat closed end, dokumentator memberikan penyelesaian pada filmnya.
Selain struktur yg jelas, penulis naskah dokumenter sudah hrs me-mikirkan ploting. Plot yg terdiri atas archplotminiplot, dan antiplot. Archplot ini biasanya penulis naskah menyebut dengan desain plot klasik. Cerita dgn desain archplot dibuat secara linear, secara urut dan biasanya dibuat closed end. Sedangkan miniplot merupakan bentuk minimalis dari arcplot. Yang paling ekstrim membuat ploting dengan antiplot, tidak linear seperti halnya archplot.



Prepare Shooting Dokumenter

 “A documentary you can’t miss.More, a touching portrait of the building of a country.” Benoîte Labrosse – Alternatives
 Ketika shooting script sudah selesai dibuat, berarti pelaksanaan shooting sudah bisa dilakukan. Shooting script merupakan panduan dokumentator di lapangan, shooting script ibarat sebuah peta yg akn menghantarkan anda agar “tidak tersesat di jalan”. Tapi peta tetaplah peta, di lapangan segala sesuatu bisa saja terjadi. Lalu hal apa saja yang perlu dipersiapkan ?
Peralatan Shooting Seperti halnya tentara yg akan bertempur di medan perang, persenjataan yang lengkap beserta amunisi serta strategi yg matang sudah harus dipersiapkan. Pun demikian ketika kita akan berangkat menuju lokasi shooting. Yakinkan bahwa se-mua peralatan shooting tidak ada yang ketinggalan. Buatlah daftar peralatan yang harus dibawa. Kamera sebagai bagian vital peralatan shooting sebaiknya dicek terlebih dahulu. Jika anda harus menyewanya, jangan terlalu percaya pada penyewa kalau peralatan dlm kondisi baik jika anda belum mengeceknya. Lakukan pereka-man untuk mengetes apakah hasil rekaman itu baik atau ti-dak. Battere, hingga saat ini belum ada kamera video yg bisa dio-perasikan tanpa ada arus listrik baik AC atau DC. Bawalah paling ti-dak dua battere untuk keperluan shooting, beberapa battere memi-liki indikator berapa lama bisa digunakan, tapi kalau tidak ada kon-disi battere bisa dicek di display kamera. Dengan demikian anda bi-sa memprediksi kebutuhan battere di lapangan nantinya. Saran sa-ya, bawa juga charger battere karena swaktu-waktu anda bisa me-ngisi battere yang sudah kosong. Tripod,penyangga kamera agar gambar yang dihasilkan lebih steady, tidak goyang. Pastikan semua panel yang ada di tripod bisa berfungsi dengan benar, misalnya apakah paning head tidak bermasalah? kalau konsep pembuatan dokumenter anda dengan gaya handheld berarti anda tidak mebu-tuhkan tripod atau penyangga kamera ini. Audio Set, seperangkat alat perekaman suara terdiri atas microphone, transmitter serta re-ceivernya (kalau menggunakan tipe wireless) juga harus dicek. Be-gitu juga kalau menggunakan kabel mic.Reflektor, ada banyak je-nis reflektor tapi tidak mungkin anda bawa semua jenis reflektor ke lapangan bukan? kalau saya sendiri lebih suka yang simple, yang bisa dilipat dan berwarna silver/perak. Ini sepertinya jadi favorit pa-ra dokumentator lain juga. Reflektor warna perak ini bisa meman-tulkan cahaya dengan baik. Kalau yang mau lengkap coba gunakan yg 5 in one, seperti namanya ini reflector satu set ada 5 jenis dalam 1 paket(white difusser, soft,black,silver,dan gold). Tape/Cassette, kalau di senjata perang ini tape atau kaset itu ibarat peluru /amunisi. Kalau untuk bikin feature film kebutuhan kaset bisa dipre-diksi dengan mudah, lain halnya untuk dokumenter jangan pelit un-tuk membawa kaset lebih. Beberapa kamera tidak menggunakan ka-set alias tape,nah kalau seperti ini berarti anda harus mempersiapkan hardisk cadangan untuk media penyimpanannya.
Logistik itu penting banget. Tidak semua makanan gampang didapat di daerah, kalaupun ada apakah makan tersebut cocok untuk kru? kalau begitu berarti sebelum berangkat shooting baik-nya kita mempersiapkan makanan juga. Produser atau manajer produksi sudah harus memastikan berapa bujet yg dibutuhkan di la-pangan, baik bujet keseluruhan maupun bujet setiap harinya. Ada kalanya harus membawa uang cash yang banyak, jadi kita harus membawa cukup uang. Riyyani Djangkaru, mantan pembawa a-cara dokumenter televisi “Jejak Petualang”di Trans 7 cerita ke saya, suatu saat dia dan kru menshoot babi dan ubi yang dijual di pasar. Dan sebelum di shoot mereka meminta bayaran. Gak nyangka kan kalau shooting ubi dan babi ada bayarannya? artinya memang ha-rus menyediakan uang lebih alias kontijensi/contigency.
Kru Lokal Sebelum pengambilan gambar/ shooting, kita pasti su-dah sering ke lokasi shooting tersebut. Di Gothe Hauss, sekitar se-tahun yang lalu saya sempat menanyakan pada Dominic Morissete dokumentator asal Perancis, berapa lama dia riset ke la-pangan waktu buat film “Afghan Chronicles”. Dia menjelaskan tidak kurang dari dua tahun dia bolak-balik ke Afghanistan. Dia juga me-manfaatkan kru lokal sana untuk membantu pembuatan dokumen-ter tersebut. Waktu saya buat dokumenter “SMP Terbuka Pulau Tunda” saya juga dibantu oleh orang lokal sana. Kenapa kru lokal ini penting? karena yang paling tahu tentang semua kondisi ya pasti orang lokal sana. Kru yang dimaksud tidak hanya seba-gai porter saja, tapi bisa juga kita jadikan sebagai pemandu kita. Dan bagusnya lagi, dengan melibatkan orang lokal akan memper-kecil atau mengurangi segala kecurigaan masyarakat di sana.
Narasumber dalam DokumenterNarasumber dalam dokumenter adalah hal yang sangat penting, narasumber sebagai subyek bukan sebagai obyek. Itulah uniknya dokumenter, memperlakukan manu-sia sebagai subyek. Narasumber memiliki karakter yang berbeda, artinya lebih baik menggunakan pendekatan subyektif ketimbang generalisasi.
Mengenali NarasumberTak kenal maka tak sayang, sebuah adagium klasik sederhana tapi masih relevan sampai saat ini. Narasumber dalam dokumenter adalah hal terpenting setelah ide/gagasan serta bagaimana story telling sang dokumentator. Banyak cara bagaimana menginisiasi calon narasumber kita, dan riset merupakan langkah awal. Kenali calon narasumber dengan berbagai referensi. Jika narasumber merupakan orang terkenal pasti tidak aka nada kesulitan untuk bahan referensi, tapi bagaimana kalau narasumber kita adalah orang biasa-biasa saja?
Prepare Interview vs Casual Interview Wawancara yang baik seharusnya dilakukan persiapan yang matang, di antaranya dengan menginisiasi calon narasumber kita. Dan yang paling penting lagi adalah goal apa yang ingin dicapai oleh dokumentator atas narasumber tersebut. Ketika goalnya sudah jelas, maka buatlah list pertanyaan, buatlah pertanyaan yang mudah di urutan pertama. Hal ini dilakukan agar narasumber “tidak kaget”, dan dengan demikian dokumentator bisa menginisiasi narasumber ketika di lapangan. Bebrapa praktisi menyarankan untuk membuat semacam pre arrange question, yakni pertanyaan pembuka yang bisa jadi nantinya tidak dipakai ketika proses editing berjalan.
Berbeda dengan tehnik prepare interview, tehnik lainnya yakni casual interview memiliki pendekatan agak sedikit berbeda. Ketika narsumber ditemui secara on the spot alias langsung di lapangan, maka dokumentator harus memiliki kejelian. Pada waktu pembuatan dokumenter bulan lalu di Aceh, penulis beberapa kali menemui narasumber on the spot. Aceh sebelum paska tsunami dan perjanjian damai Henlinski memang sudah berbeda, namun bukan berarti trauma pada masa Gerakan Aceh Merdeka/GAM serta pemberlakuan Daerah Operasi Militer/DOM sirna begitu saja, traumatik itu masih ada. Ini tentu menyulitkan saya dan tim ketika mewawancarai narasumber, apalagi yang ditanyakan seputar politik. Tanpa kehadiran kamera masih banyak informasi yang bisa penulis eksplorasi, tapi ketika kamera dihadapkan pada mereka, freezeee….. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh penulis dan tim? Pendekatan personal. Teori-teori dalam buku jurnalistik investigasi yang sangat Amerika itu tidak berlaku, ini Aceh kawan! Banyak kejadian unik di lapangan, jangankan rakyat biasa, untuk mewancarai mahasiswa yang notabene sangat kritis saja diperlukan pendekatan khusus.
Don’t stretch to the point, ini salah satu kuncinya. Saya ngobrol dengan mereka dari hal-hal yang ringan sampai pada hal yang menarik buatmereka. Dan mereka itu saya jadikan kita, berarti kami dan mereka. Setelah semuanya sudah terasa nyaman barulah kamera saya onkan,bla…bla…bla….ngalor-ngidul sudah menghabiskan hampir setengah kaset,narasumber bercerita panjang lebar tentang hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan materi dokumenter, barulah pada poin yang ingin digali oleh penulis.
Gotcha! Penulis dapat semua informasi yang diperlukan. Juga demikian, ketika penulis berhasil ngobrol dengan seorang petani di salah satu daerah di Aceh Besar. Bicara tentang bagaimana dia bertani, darimana benih dia dapat, hingga pada poin utama bagaimana keadaan eks kombatan GAM saat ini dan bagaimana politik mutakhir di Aceh saat ini.
Dalam teori memang banyak dibahas bagaimana menggali narasumber agar bisa menyampaikan informasi selengkap mungkin, tapi tidak dibicarakan bagaimana membuat narasumber nyaman. Nyaman dalam arti personal, dan ini bukan generik. Secara umum ada dua kriteria interview yang baik: yakni riset yang baik serta kemampuan mendengarkan yang baik. Butuh kesabaran yang ekstra ketika kita menjadi pendengar, dengan demikian kita akan peka terhadap apa yang disampaikan oleh narasumber. Tidak sedikit informasi baru akan kita gali ketika kita mendapat tuturan sang narasumber, pertanyaan ke dua, ke tiga, atau bahkan ke empat atas jawaban pertama tadi. Secara psikologis jelas bahwa lawn bicara kita akan merasa nyaman, merasa punya teman, ketika mereka kita dengarkan dengan baik.

1. Editing Dokumenter
Ketika proses shooting selesai, maka tahap selanjutnya yakni editing sebagai bagian dari proses paska produksi, merupakan tahapan yg sa-ngat menarik dalam pembuatan dokumenter. Kolaborasi/ kerjasama antarsutradara dgn editor sudah dimulai. Seperti halnya dalam editing feature film, editing dokumenter melalui berbagai tahapan. Apa dan bagaimana tahapan editing dokumenter.

Preview Hasil Shooting Ratusan atau bisa jadi ribuan shot yang sudah dihasilkan oleh sutradara dan cameraman, namun shot-shot tersebut tidak akan memiliki makna apa-apa ketika belum disusun oleh editor menjadi satu kesatuan cerita. Karena itu peran seorang editor sangatlah penting. Sebelum melakukan penyuntingan gam-bar, preview hasil shooting. Semua materi shot harus dilihat oleh editor. Dan kalau memungkin-kan ada baiknya pada proses melihat hasil shooting ini, sutrdara menemani editor. Dengan demikian su-tradara bisa berdiskusi de-ngan editor mengenai shot-shot yang sudah dihasilkannya itu.
LoggingTerkadang buat sebagian editor ini merupakan proses yang membosankan. Logging secara sederhana berarti pencatatan time code seluruh shot hasil shooting. Time code merupakan kode waktu yang terdapat pada materi shot. Pencatatan time code awal serta akhir shot. Jadi logging merupakan manajemen file, yang ber-fungsi untuk memudahkan ketika melakukan penyuntingan gambar nantinya. Catatan logging tersebut dibuat ke dalam logging list atau logging sheet. Logging sheet merupakan panduan untuk capture atau pemindahan materi tape ke dalam komputer editing.
Paper EditAda dua naskah dalam dokumenter, yang pertama ada-lah pre-shot script yakni script yang dibuat oleh penulis naskah se-bagai panduan dokumentator di lapangan. Dan yang ke dua, dina-makan pro-shot script, yakni naskah yang dibuat setelah shooting selesai. Pro-shot script dinamakan juga paper edit. Kenapa paper edit ini diperlukan oleh editor dokumenter? Ini salah satu yang membedakan antara feature film dengan dokumenter. Ketika editor merasa bahwa pekerjaan editing dokumenter terasa berat, maka transcript wawancara dituangkan ke dalam paper edit. Makanya tidak heran, akan ditemukan banyak kertas coretan di meja editing dokumenter. Kertas ini sangat membantu editor untuk membuat struktur cerita yang akan direkontruksi. Tidak ada aturan baku da-lam format paper edit, yang paling penting.
Editing Assembly Tahap ini merupakan tahapan setelah logging dan capturing. Editing Assembly dilakukan untuk melihat gambaran secara umum dokumenter tersebut. Untuk dokumenter berdurasi 1 jam, biasanya assembly edit sekitar 140 menit, atau empat puluh persen lebih banyak. Ini bukan rumusan umum, tapi menurut pengalaman pribadi serta sharing dengan editor dokumenter lainnya estimasi durasi di atas umum dilakukan. Dalam editing assembly, belum ada musik serta voice over serta efek. Yang jelas, dalam assembly edit sudah terlihat cerita di dalamnya. Pada hasil assembly edit memang belum bisa untuk presentasi, tapi sutrdara sudah bisa melihat gambaran umumnya. Editor sudah bisa membayangkan tema apa yang bisa dibuang atau tidak terpakai,
Rough Cut Namanya simpel, rough cut alias motong kasar tapi ini merupakan tahapan sebenarnya dalam editing. Editor sudah mem-buat kontruksi cerita sesuai dengan post-script yang sudah dibuat sebelumnya. Penambahan draft narasi atau voice over (kalau pen-dekatannya essay) sudah bisa dilakukan. Durasi hasil editing rough cut biasanya tidak lebih dari sepuluh persen dari durasi film doku-menter yang sudah jadi nantinya. Hasil rough cut sudah bisa dipre-sentasikan pada klien atau investor. Untuk menjajaki apakah film dokumenter tersebut sudah bagus secara editingnya, ada baiknya film tersebut dipertontonkan pada penonton awam, atau bisa saja minta komentar dari kawan anda.
Fine Cut Ini merupakan proses editing akhir sebelum film dokumenter tersebut benar-benar akan direlease. Pada tahapan ini editor sudah membuat struktur final dengan durasi hampir persis pada durasi sebenarnya, menambahkan musik ilustrasi, serta efek. Pada tahap ini, hasil editing fine cut sudah bisa dipresentasikan kembali. Untuk beberapa dokumenter terkadang harus mempresentasikan di hadapan advisor. Ini biasanya menyangkut konten atau isi, misalnya seperti dokumenter intruksional.
Picture Locked! Tidak ada yang paling membahagiakan seorang editor ketika, semua pekerjaan sudah selesai, dan ini yang namanya picture lock. Tidak ada perubahan sama sekali dalam editing, karena begitu gambar/video sudah dilock berarti selanjutnya adalah finalisasi graphik serta musik. Dan tentu selanjutnya adalah mastering dan membuat copy release.